"Kami rasa akan sangat baik apabila semua pihak duduk bersama membahas dan menyepakati dulu hal-hal mendasar soal royalti lagu dan musik. Hal ini penting agar royalti ini tidak melulu sekadar perkara menagih dengan pendekatan aturan hukum," ungkap Sekretaris Jendral PHRI Maulana Yusran saat dihubungi ANTARA, Sabtu.
Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik pada tanggal 30 Maret 2021 yang merupakan amanat Pasal 35 ayat (3) dari UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
Baca juga: DJKI siapkan payung hukum royalti buku untuk kesejahteraan penulis
Beleid pengelolaan royalti lagu dan musik ini dimaksudkan untuk memberikan pelindungan dan kepastian hukum terhadap pencipta, pemegang hak cipta, dan pemilik hak terkait terhadap hak ekonomi atas lagu dan/atau musik serta setiap orang yang melakukan penggunaan secara komersial lagu dan/atau musik.
Pasal 3 ayat 2 aturan tersebut menjelaskan sebanyak 14 sektor usaha maupun kegiatan wajib membayar royalti musik saat beroperasi yaitu kegiatan seminar dan konferensi komersial; restoran termasuk kafe, pub, bar, bistro, kelab malam, dan diskotek; konser musik; pesawat udara, bus, kereta api, dan kapal laut; pameran dan bazar; bioskop; nada tunggu telepon; dan pertokoan.
Selanjutnya adalah bank dan kantor; pertokoan; pusat rekreasi; lembaga penyiaran televisi; lembaga penyiaran radio; hotel termasuk kamar hotel, dan fasilitas hotel; dan usaha karaoke.
"Kami sepakat mengenai royalti bagi pencipta lagu dan sudah bekerja sama sejak lama dengan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Tetapi harus dicermati pula perkembangan industri saat ini. Zaman dulu kita membeli kaset, kemudian beralih ke compact disc, dan sekarang berkembang menjadi kanal musik di internet. Kunci pengaturan di sini pun harus sudah jelas," jelas Maulana.
Baca juga: LMKN kumpulkan royalti hak cipta dan hak terkait Rp35 miliar
Menurutnya, era bisnis yang sangat terbuka saat ini membuat penerapan pemungutan royalti tidak bisa lagi dilakukan lewat pola-pola lama tanpa mencermati sisi-sisi teknis yang berkaitan dengan perkembangan zaman.
"Nggak mungkin kan kalau YouTube atau Spotify ditutup? Padahal dari dua platform itu saja siapapun bisa mengakses musik secara berbayar atau berlangganan. Mungkin bisa dibuat kebijakan yang membuka kerja sama dengan platform semacam itu. Intinya adalah harus tahu siapa end-user yang dikenakan aturan penggunaan lagu ini agar semakin jelas," bebernya.
Ia juga menyoroti fakta di lapangan mengenai beberapa restoran waralaba yang membuat lagu khusus secara mandiri atau membeli putus dari pihak pembuat lagu untuk kemudian diputarkan di gerai-gerai mereka.
"Pihak restoran mesti mendaftarkan lagu tersebut dan juga ada biaya untuk memutarkan lagu tersebut. Padahal kewajiban membeli atau membayar dari pemilik lagu sudah ditunaikan. Hal ini menurut saya masih menjadi polemik rumit saat ini dan kita harus menemukan solusi mendasar," papar Maulana.
Baca juga: KPK: Perbaikan sistem royalti cegah korupsi di dunia usaha
Selain itu, lanjut Maulana, harus ada pembedaan penerapan aturan antara sektor industri yang tidak menjadikan penggunaan lagu dan musik sebagai inti bisnis dengan sektor yang mengandalkan hal itu semisal usaha karaoke atau festival musik.
"Hotel dan restoran kan hanya memutarkan musik sebagai ambience. Ada juga malah hotel yang tidak memutarkan musik. Karena memang bukan nilai komersialnya ke sana, jadi tidak bisa disamakan dengan karaoke misalnya," ungkapnya.
Pemerintah, katanya, juga bisa dengan bijak mengakomodasi semua layanan kanal musik digital agar tidak merugikan sektor-sektor tertentu yang berkaitan dengan penggunaan lagu atau musik yang pada prinsipnya boleh diputar secara bebas.
Baca juga: Sekda Bali: Pembayaran royalti musik dan lagu cegah potensi korupsi
Pewarta: Ahmad Faishal Adnan
Editor: Siti Zulaikha
Copyright © ANTARA 2023